Bagaimana mungkin orang Madura berani tidak hidup serius dan anti serius, lha wong Tuhan sendiri saja seriusnya setengah mati ketika menggagas, menskenario dan memanggungkan permainan dan senda gurau, begitu kata firman-Nya -- di muka bumi dan tempat-tempat lain di kosmos ini.
Kalau Ia berkata: "Aku ini Maha Pengasih dan Maha Penyayang", itu serius. "Aku ini Maha Penjaga dan Maha Pemelihara," itu tidak main-main.
Ia mendelegasikan sejumlah Malaikat untuk memelihara pertumbuhan rambut Anda sampai sepanjang-panjangnya dan terus menerus tumbuh sehingga salon dan barber shop memiliki kemungkinan permanen untuk hidup. Para Malaikat lain Ia perintahkan untuk merontokkan rambut orang-orang tertentu, supaya Malaikat itu bisa membedakan mana orang yang ikhlas menerima kebotakannya dan siapa lainnya yang memakai wig atau sekurang-kurangnya menutupinya dengan topi di mana-mana. Sementara beberapa Malaikat lain Ia instruksikan untuk menahan laju pertumbuhan bulu alis dan idep di pinggiran mata Anda sampai hanya di bawah satu senti meter saja, sebab kalau tidak: mekanisme sosial masyarakat manusia akan menjadi lain dan estetika wajah manusia akan berubah konsepnya.
Begitu seriusnya mengkonsepsikan pen-ciptaan-Nya hingga ke detail-detail yang tak terhitung oleh ultrakomputer. Setiap matahari terbit dan manusia bangun dari tidur lelapnya, senantiasa terdengar oleh telinga batinnya -- dan seringkali tak terdengar oleh gendang dan daun telinga dagingnya -- suara gaib bahwa Ia itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Seorang tua renta yang sepanjang hidupnya menyembah berhala, tiba-tiba terdengar suara itu di tengah sakit parahnya yang tak sembuh-sembuh. Kepada berhalanya ia putus asa dan merasa dendam. Ia berteriak pagi itu: "Baiklah, kalau kamu memang tidak bersedia menyembuhkan aku, terpaksa aku akan meminta kepada Tuhan yang namanya Allah atau siapa itu untuk mencoba menyembuhkanku. He, Allah! Kalau memang Kamu ada, kalau memang Kamu Maha Kuasa, kalau memang seperti kata orang-orang Kamu adalah Maha Pengasih dan Penyayang...sembuhkan penyakitku!"
Si tua renta itu membentak-bentak Tuhan sehingga para Malaikat yang mendengarnya langsung tersinggung berat, naik pitam, dan hampir saja digamparnya itu orang, kalau saja mereka tidak ingat bahwa mereka hanya diperkenankan melakukan apa-apa yang diperintahkan oleh Tuhan. "Ya'malu ma yu'marun", hanya mengerjakan yang Allah perintahkan. Maka berbondong- bondong mereka dengan penuh emosi mendatangi Tuhan dan mengadukan perilaku si tua renta yang kurang ajar dan menyinggung perasaan itu.
"Ya Allah, ada seorang hamba-Mu yang tak tahu diri. Ia sembah berhala selama 79 tahun, kemudian di ujung usianya sakit parah dan berhala yang disembahnya itu tak menyembuhkannya. Lantas ia dendam dan menentang Engkau. Kalau memang Engkau ada, kalau memang Engkau Pengasih dan Penyayang, ia minta bukti berupa kesembuhan..."
Allah menjawab dengan santai namun muatannya sangat serius: "Ya sudah, sembuhkan saja sekarang dia!"
Para malaikat langsung protes: "Lho, bagaimana, sih? Lebih dari seratus juta umat-Mu di Indonesia berdoa bertahun-tahun agar SDSB dibubarkan, baru belakangan ini saja Engkau mengabulkan. Dan doa-doa mereka yang menyangkut kekalahan politik mereka, kekalahan ekonomi dan kebudayaan mereka, sampai hari ini Engkau biarkan terbengkalai. Padahal umat-Mu di negeri indah itu sudah mati-matian salat, hajinya meningkat tiap tahun, sudah bikin masjid di mana-mana, ulamanya sudah kompak selalu dengan umara... tapi Engkau biarkan mereka terkantung-katung dalam ujian-Mu dan hukum-Mu. Lha, ini ada seorang kafir penyembah berhala mau ngetes Engkau, kok langsung saja Engkau kabulkan permintaanya?"
Tuhan tetap santai juga menjawab: "Lha, kalau doanya tidak Saya kabulkan, lantas apa bedanya antara aku dengan berhala itu!"
Jadi, demikian seriusnya Allah atas dirinya sendiri, demikian konsistennya Ia atas ucapan dan janji-janjiNya sendiri. Bagaimana mungkin orang Madura berani 'dak serius kepada Tuhan dan dirinya sendiri?
Tapi memang juga ada sih, anak-anak muda Madura yang terkadang berani bersenda gurau yang keterlaluan kepada Tuhan, seperti mahasiswa asal Batang-Batang ujung timur Madura yang di kampusnya diangkat jadi Menwa ini.
Pada suatu hari di antara berbagai jenis kemiliteran, ia diwajibkan ikut berlatih terjun payung. terjun payung! Gila. Naik ke angkasa, lantas anjlok ke tanah! Iya, kalau payungnya bisa di buka. Kalau tidak ? Kalau tiba-tiba lupa caranya mengembangkan payung? Kalau mendadak gegar otak sementara?
Jadi betapa mengerikan. Si pemuda batang-batang ini terus terang saja ketakutan setengah mati. Mending carok melawan rambo dari pada terjun payung.
Tapi, demi harga dan kehormatan Madura, akhirnya ia layani juga kewajiban itu. Ia berlatih sebisa-bisa sambil memompa keberanian di hatinya. Tetapi ketika saatnya untuk harus terjun beneran tiba, ternyata ketakutannya belum reda. Badannya dingin panas, dadanya gemetar. Dan dalam keadaan seperti itu, siapa lagi kalau bukan Tuhan sahabatnya.
Maka ketika berbaris menuju pesat, diam-diam ia berdo'a: "Ya Allah, kalau Engkau selamatkan aku dalam tugas ini untuk kembali ke bumi tanpa kurang suatu apa, aku berjanji akan menyembeli ayam ... "
Semakin dekat ke pesawat, doanya semakin seru, konsesi yang ia tawarkan kepada Tuhan pun meningkat. "Tidak hanya seekor ayam, Tuhan, tapi lima, lima ekor yang akan saya sembelih!"
Ketika kemudian ia naik pesawat, duduk berbaris, melirik jendela dan melihat betapa jauhnya bumi di bawah, konsesi membengkak pesat: "Sapi, Tuhan, Sapi! Saya akan sembelih sapi!"
Dan ketika satu persatu anggota Menwa itu didorong terjun dari pintu pesawat, lantas ia sendiri merasakan tangan sang komandan menyorong punggungnya, lantas terlontar dari mulutnya: "Sapi! Sapi! .."
Tapi kemudian, tatkala ia sukses menjalani tugasnya, menjejakkan kakinya kembali di tanah, Si Batang-Batang ini menengadahkan wajahnya ke atas sambil bertolak pinggang: "Meskipun saya 'dak sembelih sapi, mau apa! Aku tahu Engkau tak butuh sapi!"
- sekedar catatan, ini hanya sekedar mengingatkan... -
|